1. Perjanjian sebagai sumber perikatan
Pembuat undang-undang dalam pasal 1313 B.W Mencoba memberikan perumusan tentang apa itu yang disebut perjanjian, namun ia sama sekalii tidak menjelaskan kepada kita apa itu perikatan.
Sementara itu penggunaan kata perikatan sebagai terjemahan dari kata verbintenis belum merata. Sebagian dari pada para sarjana masih ada yang meterjemahkannya menjadi perutangan . Malahan ada yang menterjemahkannya menjadi perjanjian, sedang overeenkomst di terjemahkan menjadi persetujuan
Untuk tidak menambah kekacauan dalam penggunaan istilah-istilah hukum, kita tak akan mencari istilah lain lagi , tetapi akan menggunakan saja istilah “Perikatan” untuk “Verbintenis” Sebagai istilah yang sudah lazim dan banyak dipakai oleh para sarjana—Sedangkan Overeenkomst “Kita namakan “perjanjian” atau persetujuan.
Untuk tidak menambah kekacauan dalam penggunaan istilah istilah hukum., kita tak akan mencari istilah lain lagi, tetapi akan menggunakan saja istilah “Perikatan” Untuk “Verbintenis”—Sebagai istilah yang lazim dan sudah banyak di pakai oleh para sarjana—Sedangkan “OVEREENKOOMST “ kita namakan “Perjanjian’’ atau persetujuan.
Sekalipun dalam pasal 1233 B.W disebutkan, bahwa perikatan lahir dari perjanjian atau dari undang-undang – sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa perjanjian dengan perikatan adalah dua hal yang berlainan—tetapi didalam pembicaraan sehari-hari, khususnya diantara mahasiswa, masih sering kita mendengar dipersamakannya perjanjian dengan perikatan atau paling tidak belum nampak adanya pembedaan antara keduanya.
Orang menafsirkan pasal 1233 sebagai pasal yang mengatur tentang sumber-sumber perikatan, dan kata-kata dalam pasal tersebut memberikan kesan kepada kita, bahwa penyebutannya adalah penyebutan limitatif, dalam arti bahwa diluar yang disebutkan di sana tidak ada lagi sumber lain yang dapat melahirkan periktan.
Dalam Perkembangannya, ternyata bahwa pikiran pembuat undang-undang keliru, karena sehubungan dengan penafsiran luas pihak peradilan atas perikatan alamiah. (dalam arrestnya tanggal 12 Maret 1926), sehingg meliputi kewajiban-kewajiban berdasarkan tata- krama (goede zeden) dan moral positip—Oleh pengadilan dan oleh doktrin, sekarang di akui adanya sumber perikatan yang lain—Selain yang secara tegas disebutkan dalam pasal 1233—Yaitu Tata- Krama /Kesusilaan (Goede Zeden), sekalipun yang lahir hanya merupakan perikatan “ alamiah” saja (naturlijk verbintenis), yang tidak dapat dituntut pemenuhannya di muka hakim .
Sudah tentu semua ini juga berkaitan pandangan orang terhadap perikatan alamiah itu sendiri. Maksudnya penerimaan tata karama dan moral positip sebagai sumber perikatan, berkaitan dengan pandangan orang terhadap perikatan alamiah, yaitu penerimaan perikatan “perikatan” tersebut sebagai perikatan menurut hukum, dalam arti , diterimanya perikatan alamiah , sebagai perikatan yang sama dengan perikatan perdata yang lain, dengan perbedaanya hanyalah, bahwa ia tidak menerima perlindungan hukum sepenuh seperti perikatan biasa. Dalam doktrin biasanya disebut : Paham luas. Pandangan orang akan lain sekali kalau ia menganut paham sempit, yang menganggap perikatan seperti itu—yang tidak mempunyai hak tuntut pemenuhan – bukan merupakan perikatan dalam arti juridisch—bahkan bukan perikatan dalam wujud yang tidak sempurna “ tetapi hanya merupakan perikatan tata- karama atau moral saja, yang oleh hukum diberikan satu atau beberapa akibat hukum tertentu.
0 Response to "Peranjian Dan Perikatan"
Post a Comment